Monday, October 31, 2011

Konsep Akhlak Dalam Islam "Pendidikan Agama Islam"

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang belayar di laut membawa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia menghidupkan bumi sesudah matinya (kering), dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis haiwan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih penggantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang beraqal. (Iaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri dan duduk atau dalam keadaan baring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (lantas berkata): Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau maka peliharalah kami daripada siksaan neraka. (Ali-Imran:190)
Kata akhlak diartikan sebagai suatu tingkah laku, tetapi tingkah laku tersebut harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup hanya sekali melakukan perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja. Seseorang dapat dikatakan berakhlak jika timbul dengan sendirinya didorong oleh motivasi dari dalam diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan pemikiran apalagi pertimbangan yang sering diulang-ulang, sehingga terkesan sebagai keterpaksaan untuk berbuat. Apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan terpaksa bukanlah pencerminan dari akhlak.
Dalam Encyclopedia Brittanica, akhlak disebut sebagai ilmu akhlak yang mempunyai arti sebagai studi yang sistematik tentang tabiat dari pengertian nilai baik, buruk, seharusnya benar, salah dan sebaginya tentang prinsip umum dan dapat diterapkan terhadap sesuatu, selanjutnya dapat disebut juga sebagai filsafat moral.
Jika seseorang  sudah memahami  akhlak  dan menghasilkan kebiasaan  hidup  dengan  baik, yakni  pembuatan  itu  selalu diulang – ulang dengan kecenderungan hati  (sadar). Akhlak merupakan kelakuan  yang  timbul dari  hasil  perpaduan  antara  hati  nurani,  pikiran, perasaan,  bawaan  dan  kebiasaan  dan  yang menyatu,  membentuk  suatu kesatuan tindakan  akhlak  yang  dihayati  dalam  kenyataan hidup keseharian.   

Semua  yang  telah dilakukan  itu  akan melahirkan  perasaan moral  yang terdapat  di  dalam  diri  manusia itu  sendiri  sebagai  fitrah, sehingga  ia mampu membedakan mana  yang  baik  dan mana yang  jahat, mana yang  bermanfaat dan mana yang  tidak  berguna, mana yang  cantik dan mana yang buruk.  Di dalam The Encyclopedia of Islam yang dikutip oleh Asmaran dirumuskan: It is the science of virtues and the way how to acquire then, of vices and the way how to quard against then, bahwa ilmu akhlak  adalah  ilmu  tentang  kebaikan  dan cara  mengikutinya,  tentang kejahatan dan cara untuk menghindarinya.

Akhlak adalah hal yang terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak mencakup segala pengertian tingkah laku, tabi'at, perangai, karakter manusia yang baik maupun yang buruk dalam hubungannya dengan Khaliq atau dengan sesama makhluk.
Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling baik akhlaknya".
Ada   dua   pendekatan   untuk   mendefenisikan   akhlak,   yaitu   pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan). Akhlak   berasal dari bahasa arab yakni  khuluqun    yang menurut loghat diartikan:   budi  pekerti, perangai,   tingkah   laku   atau   tabiat.   Kalimat   tersebut   mengandung   segi-segi persesuaian denga perkataan khalakun yang berarti kejadian, serta erat hubungan dengan khaliq yang berarti pencipta dan makhluk yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk.
Defenisi akhlak secara substansi tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini berarti bahwa saat melakuakan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur dan gila.
Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbutan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai baik atau buruk.
Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesunggunya, bukan main-main atau karena bersandiwara
Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena keikhlasan semata-mata karena Allah, bukan karena dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Disini kita harus bisa membedakan antara ilmu akhlak dangan akhlak itu sendiri. Ilmu akhlak adalah ilmunya yang hanya bersifat teoritis, sedangkan akhlak lebih kepada yang bersifat praktis.
Pengertian akhlak adalah kebiasaan kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Jadi pemahaman akhlak adalah seseorang yang mengeri benar akan kebiasaan perilaku yang diamalkan dalam pergaulan semata – mata taat kepada Allah dan  tunduk  kepada-Nya. Oleh  karena  itu  seseorang  yang  sudah memahami akhlak maka  dalam  bertingkah  laku  akan  timbul  dari  hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan dan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan  tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Dengan  demikian  memahami akhlak  adalah  masalah  fundamental dalam  Islam. Namun  sebaliknya  tegaknya  aktifitas keislaman  dalam hidup  dan  kehidupan seseorang  itulah  yang  dapat  menerangkan  bahwa orang  itu memiliki  akhlak.   

1.2.Tujuan Penulisan
Secara khusus tujuan ditulisnya makalah ini adalah untuk menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam. Sedang secara umum tujuan ditulisnya makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui konsep akhlak dalam Islam.
2.      Untuk mengetahui aktualisasi akhlak dalam berbagai kehidupan.

1.3.Manfaat Penulisan
Manfaat yang didapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah ;
1.      Memberikan referensi seberapa besar pengaruh konsep akhlak dalam Islam.
2.      Sebagai acuan, bagaimana konsep akhlak dalam Islam menjadi pegangan umat muslim dalam kehidupan sehari-hari.


















BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Akhlak
            Perkataan akhlak berasala dari bahasa Arab, jama’ dari “khuluqun” yang berarti budi pekerti. Kata “akhlak” mengandung segi-segi persesuaian dengan khalqun (ciptaan) serta erat hubungannya dengan khaliq dan makhluq. Setiap perbuatan dan perilaku manusia (makhluq), baik secara individu maupun interaksi sosial tidak bisa terlepas dari pengawasan Tuhan (khaliq). Perkataan ini bersumber dari kalimat yang tercantum dalam Al-Quran Surat Al-Qalam ayat 4:
عَظِيمٍ خُلُقٍ لَعَلى وَإِنَّكَ
“Dan sesungguhnya engkau (ya Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
Demikian juga dari Hadits Nabi SAW:
“Aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan budi pekerti”. (HR. Akhmad)
            Menurut Ibnu Miskawaih akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan fikiran terlebih dahulu. Sejalan dengan itu, Al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan fikiran.
            Dua definisi di atas menggambarkan bahwa akhlak secara substansial adalah sifat hati (kondisi hati) –bisa baik bisa buruk- yang tercermin dalam prilaku. Jika sifat hatinya baik maka yang muncul adalah akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah) dan jika akhlak yang buruk (al-aklaq al-mazmumah).
            Adapun Ulama Akhlak memberikan pengertian tentang akhlak sebagai: Ilmu yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha pekerjaan mereka.
2.2. Karakteristik Akhlak
            Allah telah berkehendak bahwa akhlak (moral) dalam Islam memiliki karakteristik yang berbeda dan unik (istimewa) dari agama Yahudi, Nasrani ataupun keduanya, yaitu dengan karakteristik yang menjadikannya sesuai untuk setiap individu, kelas sosial, ras, lingkungan, masa dan segala kondisi. Yusuf Qardhawi, mengajukan tujuh karakter etika (moral/akhlak) Islam (Qardhawy, 1997):
1.      Moral yang beralasan (argumentatif) dan dapat dipahami.
Moral Islam terlepas dari tabiat ritual absolut dogmatis yang dikenal oleh agama Yahudi, dan yang diasumsikan oleh sebagian peneliti tentang moral sebagai suatu konsekuensi langsung sebagai suatu konsekuensi langsung bagi bahasa dakwah kepada moral dalam semua agama, namun mereka tidak mengetahui bahwa Islam justru kebalikan dari itu.
Sesungguhnya Islam selalu bersandar pada penilaian yang logis dan argumentasi yang dapat diterima oleh akal yang lurus dan naluri yang sehat, yaitu dengan menjelaskan maslahat (kebaikan) dibalik apa yang dilarangnya. Disebutkan dalam Al-Quran Surat Al-Ankabut: 45
وَأَقِم الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ ءِالْفَحْشَا وَالْمُنْكَرِ
“Dan dirikanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dan (perbuatan-perbuatan keji dan mukar)”.
2.      Moral Universal
Moral dalam Islam berdasarkan karakter manusiawi yang universal, yaitu larangan bagi suatu ras manusia berlaku juga bagi ras lain, bahkan umat Islam dan umat-umat yang lain adalah sama dihadapan moral Islam yang universal. Dalam Al-Quran surat Al-Maidah:8, Allah menyebutkan:
أَقْرَبُ هُوَ اعْدِلُوا تَعْدِلُوا أَلا عَلَى قَوْمٍ شَنَآنُ مَنَّكُمْجْرِيَوَلا
تَعْمَلُونَ بِمَا خَبِيرٌ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ وَاتَّقُوا لِلتَّقْوَى
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa”
Dengan demikian etika (moral/akhlak) Islam adalah bebas dari segala tendensi rasisme kebangsaan, kesukuan maupun golongan.
3.      Kesesuaian dengan Fitrah
Islam datang membawa apa yang sesuai dengan fitrah dan tabiat manusia serta menyempurnakannya. Islam mengakui ekstitensi manusia sebagaimana yang telah diciptakan Alla dengan segala dorongan kejiwaan, kecenderungan fitrah serta segala yang telah digariskan-Nya. Islam menjadikan mulai dari membuat batasan hukum untuknya agar dapat memelihara kebaikan masyarakat dan individu manusia itu sendiri.
Islam membolehkan manusia untuk menikmati barang atau hal-hal (rezeki) yang baik, perhiasan dan mengesahkan kepemilikan pribadi. Namun syariat Islam tidak membenarkan naluri jika barang-barang dan hal-hal yang najis atau merupakan perbuatan maksiat. Firman Allah dalam Surat Al-A’raf: 32
الرِّزْقِ مِنَ وَالطَّيِّبَاتِ لِعِبَادِهِ أَخْرَجَ الَّتِي اللَّهِ زِينَةَ حَرَّمَ مَنْ قُلْ
“Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?".
            Islam dengan segala yang diperbolehkannya demi menjaga tabiat manusiawi telah meletakkan konsep aturan dan batasan-batasan yang netral atau moderat, sikap-sikap berlebihan dan ekstrim yang menjurus kepada perangai binatang tercela.
4.      Memperlihatkan Realita
Di antara karakteristik moral Islam merupakan akhlak realistik, tidak mengeluarkan perintah dan larangannya kepada orang-orang yang hidup di “menara gading” atau orang-orang terbang melayang di awang-awang idealisme, melainkan memerintahkan kepada manusia yang memiliki dorongan dan nafsu, keinginan dan cita-cita, kepentingan dan kebutuhan juga memiliki kecenderungan dan hasrat biologi terhadap kesenangan duniawi sebagaimana mereka juga memiliki kerinduan jiwa kepada Allah yang mengangkat tinggi derajat manusia.
Al-Quran tidak membebankan kepada manusia suatu kewajiban untuk mencintai musuh-musuhnya, karen a hal ini merupakan sesuatu hal yang tidak dimiliki jiwa manusia, akan tetapi Al-Quran memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk berlaku adil terhadap musuh-musuhnya, supaya rasa permusuhan dan kebencian mereka terhadap musuh-musuhnya tidak mendorong untuk melakukan pelanggaran terhadap musuh-musuh mereka.
5.      Moral Positif
Islam tidak merlakan orang yang telah berhias dengan moral Islam untuk mengikuti trend sosial, berjalan mengikuti arus, atau bersikap lemah dan menyerah menghadapi peristiwa yang mengendalikan hidupnya. Moral Islam menganjurkan untuk menggalang kekuatan, perjuangan dan meneruskan amal usaha dengan penuh keyakinan dan cita-cita, melawan sikap ketidakberdayaan dan pesimis (keputusasaannya), malas serta segala bentuk penyebab kemalasan. Firmah Allah:
“Ambillah kitab itu dengan sungguh-sungguh (penuh kekuatan)”.
Islam menolak sikap pasif (apatis) dalam menghadapi kerusakan sosial dan politik, dekadensi moral dan agama, bahkan Islam memerintahkan kepada muslim untuk merubah suatu kemungkaran dengan “tangannya”, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka dengan hatinya.
6.      Komprehensifitas
Jika sebagian orang menyangka bahwa moral dalam agama berkisar pada pelaksanaan ibadah-ibadah ritual, seremonial dan sebagainya, maka hal ini tidak tepat untuk diprediksikan kepada etika/moral dalam Islam, karena etika Islam tidak membiarkan kegiatan manusia hanya dalam ibadah saja. Islam telah menggambarkan sebuah konsep moral dengan ibadah yang tertentu, bahkan menggariskan hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan hunbungannya dengan umatnya, maka moral Islam mencakup hubungan manusia dengan alam secara global maupun detail dan untuk itu moral Islam meletakkan apa yang dikehendaki manusia dari adab yang tinggi dan ajaran yang luhur.
7.      Tawazun (Keseimbangan)
Di antara karakteristik moral Islam adalah tawazun yang menggabungkan sesuatu dengan penuh keserasian dan keharmonisan, tanpa sikap berlebihan maupun pengurangan. Contoh tawazun adalah: sikap seimbang antara hak tubuh dan hak roh, sehingga tidak ada penyengsaraan tubuh ataupun penelataran roh. Contoh lain adalah sikap seimbang dalam “mengejar” dunia dan akhirat. Islam menganggap dunia ini adalah ladang untuk akhirat dan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, maka tidaklah pantas mereka merusak atau menelantarkan kehidupan di dunia, karen orang yang bahagia adalah orang yang beruntung dengan kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah: 201 :
حَسَنَةً الآخِرَةِ وَفِي حَسَنَةً الدُّنْيَا فِي آتِنَا رَبَّنَا يَقُولُ مَنْ وَمِنْهُمْ
النَّارِ عَذَابَ وَقِنَا
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".
2.3. Faktor-faktor Pembentukan Akhlak
            Sebelum kita bahas tentang berbagai kelakuan yang baik dan kelakuan yang tercela, maka perlu kita ketahui berbagai faktor penting dalam akhlak, yang memainkan peranan dalam penentuan baik buruknya tingkah laku seseorang. Faktor-faktor tersebut turut “mencetak” dan mempengaruhi terbentuknya tingkah laku manusia dalam pergaulannya.
            Manusia selaku makhluk yang istimewa dengan kelainan-kelainnanya dibandingkan dengan mahluk-mahluk lainnya memiliki kelebihan-kelebihan dan juga kekurangan-kekurangannya tertentu. Bukan hanya berbeda dengan mahluk lainnya, tetapi juga antara manusia itu sendiri mempunyai perbedaan, baik fisik maupun mental. Yang membedakan manusia dengan lain makhluk terutama terletak pada akal budinya, dapat tertawa, mempunyai bahasa, dan kebudayaan, memiliki kekuasaaan untuk menundukkan binatang, bertanggung jawab dan berilmu pengetahuan.
 وَرَزَقْنَاهُمْ وَالْبَحْرِ الْبَرِّ فِي وَحَمَلْنَاهُمْ آدَمَ بَنِي كَرَّمْنَا وَلَقَدْ
تَفْضِيلا خَلَقْنَا مِمَّنْ كَثِيرٍ عَلَى وَفَضَّلْنَاهُمْ الطَّيِّبَاتِ مِنَ
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (Al-Isra: 70)
            Demikian juga antara yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan dalam kesanggupan fisik dan mental, perbedaan bakat, rizqi, ilmu pengetahuan, kedudukan (derajat) dan sebagainya. Hal ini dikemukakan dalam Al-Quran:
فَوْقَ بَعْضَكُمْ وَرَفَعَ الأرْضِ خَلائِفَ جَعَلَكُمْ الَّذِي وَهُوَ
سَرِيعُ رَبَّكَ إِنَّ آتَاكُمْ مَا فِي لِيَبْلُوَكُمْ دَرَجَاتٍ بَعْضٍ
رَحِيمٌ لَغَفُورٌ وَإِنَّهُ الْعِقَابِ
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-An’am: 165)
Identitas kemanusian ini perlu diselidiki dalam pelajaran akhlak, karena manusi selaku pelaku akhlak tu sendiri dan faktor-faktor kemanusiaannya itu menentukan kesanggupannya bekerja “mencetak amal kebaikan” itu sendiri “dicetak” oleh berbagai faktor kondisi dan situasinya. Jelas firman Allah dalam Al-Quran:
سَبِيلا أَهْدَى  هُوَ بِمَنْ أَعْلَمُ فَرَبُّكُمْ شَاكِلَتِهِ عَلَى يَعْمَلُ كُلٌّ قُلْ
“Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (Al-Isra: 84)
            Sebagai contoh, orang yang kuat mental dan tajam pikirannya dapat bekerja lebih banyak, sedangkan manusia tumpul otaknya, lemah mental dan fisiknya kesanggupan berbuatnya menjadi berkurang.
            Berlaku dermawan adalah suatu kebaikan, tetapi kesanggupan itu hanya dimungkinkan oleh orang yang memiliki harta yang memadai (hartawan). Menjadi petugas keamanan untuk melindungu masyarakat adalah perbuatan yang baik, tetapi tugas itu tidak dapat dilaksanakan oleh orang yang memiliki fisik yang lemah. Untuk menjadi polisi dan tentara diperlukan kekuatan fisik dan mental (keberanian).
            Demikian latar belakang kesanggupan manusia yang berbeda-beda, sehingga tidak dapat dipaksakan suatu kebaikan begitu saja kepada seluruh manusia tanpa memperhatikan kesanggupannya itu. Maka amat bijaksana Allah yang mewajibkan setiap Muslim melaksanakan ibadah haji, tetapi kewajiban itu hanya dipundakkan kepada orang yang mampu (istitha’ah). Bijaksanalah Allah ketentuan yang digariskan dalam Al-Quran:
وُسْعَهَا إِلا لَهَا نَفْسًا اللَّهُ يُكَلِّفُ لا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
            Perbuatan dan kelakuan yang berbeda-beda itu, pada prinsipnya ditentukan dan dipengaruhi oleh dua faktor utama:
a.       Faktor dari dalam (internal): yakni sifat-sifat bawaan atau yang dibawa sejak lahir.
b.      Faktor dari luar (eksternal): pengaruh yang terjadi di luar diri manusia karena adanya suatu aksi dan interasksi.

1.      Instink (Naluri)
2.      Keturunan
3.      Azam
4.      Suara Batin (Dlamin)
5.      Kebiasaan
6.      Lingkungan

2.4. Aktualisasi Akhlak dalam berbagai Kehidupan Bidang Kehidupan
           
            Perbaikan akhlak merupakan bagian dan tujuan pendidikan Islam. Pendidikan yang hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual telah agal membawa manusia sebagai khalifah fi al-ardl. Sejak awal seorang Socrated telah mengingatkan bahwa tujuan pendidikan ialah kebaikan sifat dan budi, yaitu kasih sayang dan kerelaan. Tujuan nyata dari pendidikan ialah menyalurkan warisan sosial dan suku bangsa sejenis. Lebih jauh Al-Ghazali menyatakan bahwa penyesuaian diri tidak sekedar dijalankan terhadap norma masyrakat, tetapi juga terhadap norma Tuhan. Al-Ghazali selanjutnya mengutarakan bahwa tujuan pendidikan secara individual ialah membersihkan kalbu dari godaan hawa nafsu (syahwat) dan amarah (ghadhab), hingga ia jernih bagaikan cermin yang dapat menerima cahaya Tuhan. Mendidik itu sama dengan pekerjaan peladang membuang duri dan mencabu rumput yang tumbuh di antara tanam-tanaman, agar segar dan subur tumbuhnya.
            Di dalam hati yang bersih, iman tumbuh dan berkembang. Ia menebarkan cahaya ke seluruh anggota badan lahir batin. Kalau indikator manusia berakhlak adalah manusia yang tertanam di dalam hatinya iman yang kokoh, maka tasawuf adalah upaya bagaimana kiat-kiat agar iman itu “istiqamah” dan tetap kokoh. Tasawuf adalah upaya spiritual bagaimana agar manusia dapat memilki akhlak al-karimah. Caranya yaitu dengan cara tasfiat al-qalb. Metode tasfiat al-qalb yang disepakati oleh para sufi adalah saleh. Jika sebuah amal saleh lepas dari dzikir maka laksana jasad tanpa ruh. Mengapa dzikir menjadi pola tasfiat al-qalb yang dimajukan mereka secara naqli.
1.      Perintah dzikir dalam Al-Quran datang ada secara mutlak dalam arti tidak diikat dengan pernyataan-pernyataan yang lain dan ada yang perintahnya dikaitkan dengan ikatan-ikatan lain.
2.      Larangan berlaku sebaliknya yaitu lupa dan lalai dari dzikir
3.      Kebahagiaan yang akan diperoleh manusia dikaitkan dengan banyak dan istiqomah dalam berdzikir.
4.      Pujian Allah dialamatkan kepada ahli dzikir dan Allah menjanjikan bagi mereka ampunan dan surga.
5.      Informasi Allah bahwa kerugian bagi orang yang bersikap sebaliknya yakni tidak berdzikir.
6.      Allah menjadikan dzikir hamba kepada-Nya sebagai syarat dzikirnya Allah kepada mereka.
7.      Pernyataan Allah secara jelas bahwa dzikir adalah perkara yang amat besar. Dzikir adalah ketaatan yang paling utama dan yang dimaksud ketaatan adalah taat secara total yakni melakukan dzikir yang merupakan rahasia dan ruh ketaatan.
Selain langkah spiritual langkah lahiriah juga harus diupayakan. Menurut ilmu akhlak kebiasaan yang baik harus disempurnakaan dan kebiasaan yang buruk harus dihilangkan. Kebiasaan merupakan faktor yang amat penting dalam pembentukan karakter manusia berakhlak baik. Kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga orang menjadi mudah mengerjakannya. Oleh karena itu hendaknya manusia memaksakan diri (mujahadah) untuk mengulang-ulang perbuatan yang baik sehingga menjadi kebiasaan dan akhirnya terbentuklah akhlak yang baik pada dirinya. Sejak awal Nabi menganjurkan agr anak dibiasakan melakukan kewajiban-kewajiban. Nabi bersabda:
“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat sewaktu merek berumur tujuh tahun, dan ambilah tindakan tegas pada waktu mereka berumur sepuluh tahun” (H.R. Tirmizi)
Seseorang akan mudah menggerjakan suatu perbuatan yang telah menjadi kebiasaannya, meskipun pada awalnya perbuatan dirasakan berat. Islam menghendaki agar pemeluknya melatih diri melakukan kewajibannya secara ‘istiqamah’, khususnya shalat yang lima waktu, puasa pada bulan ramadhan, zakat, haji dan lain-lain pada waktunya, sehingga sehingga semua itu menjadi kebiasaan yang mencetak orang bersangkutan berkarakter taat atas perintah Allah. Demikian pula kebiasaan berbuat baik terhadap sesama manusia (ibadah sosial) dan alam lingkungan dalam arti luas.
Dalam akhlak, “keutamaan” tidaklah cukup dengan hanya mengetahui apakah “keutamaan itu”, tetapi harus ditambah dengan melatihnya dan terus menerus mengerjakannya atau mencari jalan lain untuk menjadi orang-orang yang memiliki keutamaan dan kebaikan (ahl al-fadl wa al-khair). Secara singkat Al-Ghazali menyebutkan bahwa untuk mencapain akhlak yang baik, ada tiga cara, pertama, akhlak yang merupakan anugerah dan kasih sayang Allah orang memiliki akhlak baik secara alamiah (bi al-thabi’ah wa al-fitrah), sebagai sesuatu yang diberikan Allah kepadanya sejak ia dilahirkan. Kedua dengan “mujahadah” (menahan diri) dan ketiga dengan “riyadhah” yang disepakati para sufi, sebagai telah dijelaskan antara lain ialah dengan “dawam al-zikr”.
Upaya mengubah kebiasaan yang buruk, menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip Ishak Soleh adalah dengan hal-hal sebagai berikut:
1.      Menyadari perbuatan buruk, bertekad untuk meninggalkannya;
2.      Mencari waktu yang baik untuk mengubah kebiasaan itu untuk mewujudkan niat atau tekad semula;
3.      Menghindarkan diri dari segala yang dapat menyebabkan kebiasaan buruk itu terulang;
4.      Berusaha untuk tetap berada dalam keadaan yang baik;
5.      Menghindarkan diri dari kebiasaan yang buruk dan meninggalkannya dengan sekaligus;
6.      Menjaga dan memelihara baik-baik kekuatan penolak dalam jiwa, yaitu kekuatan penolak terhadap perbuatan yang buruk. Perbuatan baik dipelihara dengan istiqamah, ikhlas dan jiwa tenang;
7.      Memilih teman bergaul yang baik, sebab pengaruh kawan itu besar sekali terhadap pembentukan watak pribadi.
8.      Menyibukkan diri dengan pekerjaan yang bermanfaat.
Menurut Al-Ghazali, upaya mengubah akhlak yang buruk adalah dengan kesadaran seseorang akan akhlaknya yang jelek pada dirinya. Ada empat cara untuk dapat membantu setiap orang dalam membantu setiap orang dalam masalah ini. Pertama dengan menjadi murid seorang pembimbing spiritual (syaikh). Lengkah kedua, dengan minta bantuan seorang teman yang tulus, taat dan punya pengertian. Temaan ini diminta mengamati keadaan dan kondisi orang tersebut dengan teliti dan mengatakan kepadanya tentang kekurangan-kekurangan yang nyata dan tersembunyi pada dirinya. Langkah ketiga,, mengetahui kekurangan kita dari seorang yang tidak menyenangi kita. Orang yang tidak senang kepada kita lebih banyak melihat kekurangan yang ada pada diri kita ketimbang kebaikan. Langkah keempat, ialah dengan bergaul bersama orang banyak dan memisalkan kekurangan yang dilihat pada orang lain bagaikan ada pada diri kita. Selanjutnya ia menyatakan bahwa keburukan jiwa dapat dipulihkan secara permanen jika substansinya dihancurkan. Ini hanya dapat dilaksanakan dengan menghilangkan penyebab keburukan itu. Oleh sebabt itu ia sering mengatakan bahwa penyembuhan penyakit hati tergantung pada penghalang dari faktor penyebabnya. Carilah faktor penyebabnya kemudian sembuhkan dengan obat rohani yang tepat dan cocok. Selanjutnya ia mengatakan bahwa keburukan jiwa adalah penyakit dan pembersihan jiwa dari penyakit memakai suatu obat. Bagi tiap penyakit jiwa ada obat yang sebanding dengan kecil besarnya penyakit itu. Pakailah obat untuk penyekit itu jika ia menimpa kamu, dengan memberikan penawar penyakit atau memotong pangkalnya.
Akhlak al-karimah adalah buah yang harus didapatkan. Tasawuf adalah upaya spiritual bagaimana manusia dapat memperoleh buah itu. Riyadhah adalah salah satu cara yang di mata para sufi paling efektif untuk mendapatkan buah itu (akhlak al-karimah). Dzikir disepakati oleh para sufi merupakan riyadhah yang paling besar pengaruhnya terhadap pensucian hati. Tetapi karena tsawuf itu adalah upaya peningkatan kualitas maka pelaksanaanya tentu saja terintegrasi dengan akidah dan syari’ah atau dengan istilah lain fikih. Mengamalkan tasawuf tanpa fikih adalah “kezindikan” juga sebaliknya berfikih tanpa tasawuf adalah kehampaan spiritual yang didapatkan, memadukan antara fikih dan tasawuf adalah pencapaian hakikat kebenaran.
Tasawuf perlu dibedah secara naqli dan aqli, agar mahasiswa tahu bagaimana seharusnya ber-Islam secara kaffah, secara ilmu dan amal. Islam kaffah adalah secara ilmu Islam dipahami lahir batinnya, dan secara amal diaktualisasikan lahir dan batinnya. Kata Ibnu ‘Arabi ilmu adalah imam bagi amal. Maka pengetahuan yang benar dan agak mendalam tentang tasawuf akan melahirkan mahasiswa yang memahami Islam dan berusah secara sungguh-sungguh mengamalkannya dalam kehidupan ritual dan sosialnya. Yang menjadi persoalan bagaimana implementasi akhlak dan tasawuf dalam pembelajarannya. Secara singkat dapat dikemukakan di sini; pertama dengan penjelasan yang komprehensif tentang kedudukan tasawuf dalam Islam.
Terlalu lama Islam yang kita ajarkan kepada anak didik adalah Islam Fikih. Islam Fikih cenderung menggiring mahasiswa bersikap formalistik dalam pengamalan agama. Islma fikih kering dari makna dan nilai ajaran. Padahal Nabi secara jelas menyatakan kalu Al-Quran harus difahami zhahir dan batinnya. Zahir ayat melahirkan fikih, batin ayat melahirkan ajaran tasawuf. Tasawuf adalah bagian integral dari ajaran Islam, memisahkan tasawuf ajaran Islam sama artinya dengan menghilangkan substansi ajaran Islam itu sendiri. Ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana telah dijelaskan bukan hanya mengangkat ayat tentang tasawuf malah ayat yang berbicara hukum sekalipun selalu dikaitkan dengan substansi ajaran tasawuf. Kedua dengan memberikan contoh dan teladan. Memberikan contoh dalam pengamalan fikih dan tasawuf sekaligus memberikan teladan bagaimana sikap berakhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dosen PAI harus menjadi teladan dan dapat dibanggakan oleh mahasiswanya dalam segala aspek kehidupannya. Jangan mahasiswa kehilangan panutan di kampus atau menjadikan nilai-nilai yang tidak berasaskan Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai pedoman dalam hidupnya. Yang lain-lainnya dapat dilakukan oleh dosen PAI semisal, pembiasaan tentunya pembiasaan perilaku-perilaku yang baik, menegakkan disiplin, memberi motivasi atau dorongan, memberikan hadiah terutama yang bersifat psikologis, menghukum, kalau perlu, dalam rangka pendisiplinan dan yang harus diupayakan oleh institusi dan lingkungan adalah penciptaan suasana yang berpengaruh bagi pertumbuhan positif berakhlak karimah.
Secara substansial akhlak, etika dan moral adalah sama yaitu ajaran tentang baik dan buruk berkaitan dengan sikap hidup manusia. Yang membedakan satu dengan yang lainnya adalah sumber kebenarannya. Akhlak bersumberkan Al-Quran dan al-Sunnah, sementara etika bersumberkan akal karena ia bagian dari filsafat. Sedangkan moral bersumberkan adat istiadat (tradisi) yang berlaki di masyarakat. Etika lebih bersifat teoritis, moral bersikap praktis, etika bersifat umum, sedangkan moral lebih bersifat lokal dan khusus. Akhlak bersifat universal dan komprehensif, mencakup aspek lahir dan batin.
Dari satu segi akhlak adalah buah dari tasawuf (proses pendekatan diri kepada Tuhan), tapi dari sisi lain akhlak pun merupakan usaha manusia secara “zahiriyah”, yaitu melalui ilmu dan amal, “mujahadah” dan “riyadhah”. Implementasi akhlak dan tasawuf, bahwa secara keilmuantasawuf harus dibedah sehingga jelas substansi kajiannya dan sekaligus posisinya dalam ajaran amat menentukan, memberi motivasi memberikan hadiah atau sebaliknya menghukum secara psikologis dan yang tidak kalah penting  adalah upaya penciptaan suasana kondusif oleh semua pihak untuk tumbuhnya sikap akhlak yang positif di kampus masing-masing.




















BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Islam mempunyai dua sumber yaitu Al-Quran dan As-Sunnah yang menjadi pegangan dalam menentukan segala urusan dunia dan akhirat. Kedua-dua sumber itulah juga yang menjadi sumber akhlak Islamiyyah. Prinsip-prinsip dan kaedah ilmu akhlak Islam semuanya didasarkan kepada wahyu yang bersifat mutlak dan tepat neraca timbangannya.
Apabila melihat perbahasan bidang akhlak Islamiyyah sebagai satu ilmu berdasarkan kepada dua sumber yang mutlak ini, dapatlah dirumuskan definisinya seperti berikut:
Satu ilmu yang membahaskan tatanilai, hukum-hukum dan prinsip-prinsip tertentu bagi mengenalpasti sifat-sifat keutamaan untuk dihayati dan diamalkan dan mengenalpasti sifat-sifat tercela untuk dijauhi dengan tujuan membersihkan jiwa berasaskan wahyu Ilahi bagi mencapai keredhaan Allah (ridwaanullah).
Manakala akhlak pula dapatlah kita rumuskan sebagai satu sifat atau sikap keperibadian yang melahirkan tingkah laku perbuatan manusia dalam usaha membentuk kehidupan yang sempurna berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Allah.
Dengan kata lain, akhlak ialah suatu sistem yang menilai perbuatan zahir dan batin manusia baik secara individu, kumpulan dan masyarakat dalam interaksi hidup antara manusia dengan baik secara individu, kumpulan dan masyarakat dalam interaksi hidup antara manusia dengan Allah, manusia sesama manusia, manusia dengan haiwan, dengan malaikat, dengan jin dan juga dengan alam sekitar.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang belayar di laut membawa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia menghidupkan bumi sesudah matinya (kering), dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis haiwan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih penggantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang beraqal. (Iaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri dan duduk atau dalam keadaan baring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (lantas berkata): Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau maka peliharalah kami daripada siksaan neraka. (Ali-Imran:190)
Kata akhlak diartikan sebagai suatu tingkah laku, tetapi tingkah laku tersebut harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup hanya sekali melakukan perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja. Seseorang dapat dikatakan berakhlak jika timbul dengan sendirinya didorong oleh motivasi dari dalam diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan pemikiran apalagi pertimbangan yang sering diulang-ulang, sehingga terkesan sebagai keterpaksaan untuk berbuat. Apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan terpaksa bukanlah pencerminan dari akhlak.
Dalam Encyclopedia Brittanica, akhlak disebut sebagai ilmu akhlak yang mempunyai arti sebagai studi yang sistematik tentang tabiat dari pengertian nilai baik, buruk, seharusnya benar, salah dan sebaginya tentang prinsip umum dan dapat diterapkan terhadap sesuatu, selanjutnya dapat disebut juga sebagai filsafat moral.
Jika seseorang  sudah memahami  akhlak  dan menghasilkan kebiasaan  hidup  dengan  baik, yakni  pembuatan  itu  selalu diulang – ulang dengan kecenderungan hati  (sadar). Akhlak merupakan kelakuan  yang  timbul dari  hasil  perpaduan  antara  hati  nurani,  pikiran, perasaan,  bawaan  dan  kebiasaan  dan  yang menyatu,  membentuk  suatu kesatuan tindakan  akhlak  yang  dihayati  dalam  kenyataan hidup keseharian.   

Semua  yang  telah dilakukan  itu  akan melahirkan  perasaan moral  yang terdapat  di  dalam  diri  manusia itu  sendiri  sebagai  fitrah, sehingga  ia mampu membedakan mana  yang  baik  dan mana yang  jahat, mana yang  bermanfaat dan mana yang  tidak  berguna, mana yang  cantik dan mana yang buruk.  Di dalam The Encyclopedia of Islam yang dikutip oleh Asmaran dirumuskan: It is the science of virtues and the way how to acquire then, of vices and the way how to quard against then, bahwa ilmu akhlak  adalah  ilmu  tentang  kebaikan  dan cara  mengikutinya,  tentang kejahatan dan cara untuk menghindarinya.

Akhlak adalah hal yang terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak mencakup segala pengertian tingkah laku, tabi'at, perangai, karakter manusia yang baik maupun yang buruk dalam hubungannya dengan Khaliq atau dengan sesama makhluk.
Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling baik akhlaknya".
Ada   dua   pendekatan   untuk   mendefenisikan   akhlak,   yaitu   pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan). Akhlak   berasal dari bahasa arab yakni  khuluqun    yang menurut loghat diartikan:   budi  pekerti, perangai,   tingkah   laku   atau   tabiat.   Kalimat   tersebut   mengandung   segi-segi persesuaian denga perkataan khalakun yang berarti kejadian, serta erat hubungan dengan khaliq yang berarti pencipta dan makhluk yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk.
Defenisi akhlak secara substansi tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini berarti bahwa saat melakuakan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur dan gila.
Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbutan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai baik atau buruk.
Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesunggunya, bukan main-main atau karena bersandiwara
Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena keikhlasan semata-mata karena Allah, bukan karena dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Disini kita harus bisa membedakan antara ilmu akhlak dangan akhlak itu sendiri. Ilmu akhlak adalah ilmunya yang hanya bersifat teoritis, sedangkan akhlak lebih kepada yang bersifat praktis.
Pengertian akhlak adalah kebiasaan kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Jadi pemahaman akhlak adalah seseorang yang mengeri benar akan kebiasaan perilaku yang diamalkan dalam pergaulan semata – mata taat kepada Allah dan  tunduk  kepada-Nya. Oleh  karena  itu  seseorang  yang  sudah memahami akhlak maka  dalam  bertingkah  laku  akan  timbul  dari  hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan dan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan  tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Dengan  demikian  memahami akhlak  adalah  masalah  fundamental dalam  Islam. Namun  sebaliknya  tegaknya  aktifitas keislaman  dalam hidup  dan  kehidupan seseorang  itulah  yang  dapat  menerangkan  bahwa orang  itu memiliki  akhlak.   

1.2.Tujuan Penulisan
Secara khusus tujuan ditulisnya makalah ini adalah untuk menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam. Sedang secara umum tujuan ditulisnya makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui konsep akhlak dalam Islam.
2.      Untuk mengetahui aktualisasi akhlak dalam berbagai kehidupan.

1.3.Manfaat Penulisan
Manfaat yang didapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah ;
1.      Memberikan referensi seberapa besar pengaruh konsep akhlak dalam Islam.
2.      Sebagai acuan, bagaimana konsep akhlak dalam Islam menjadi pegangan umat muslim dalam kehidupan sehari-hari.


















BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Akhlak
            Perkataan akhlak berasala dari bahasa Arab, jama’ dari “khuluqun” yang berarti budi pekerti. Kata “akhlak” mengandung segi-segi persesuaian dengan khalqun (ciptaan) serta erat hubungannya dengan khaliq dan makhluq. Setiap perbuatan dan perilaku manusia (makhluq), baik secara individu maupun interaksi sosial tidak bisa terlepas dari pengawasan Tuhan (khaliq). Perkataan ini bersumber dari kalimat yang tercantum dalam Al-Quran Surat Al-Qalam ayat 4:
عَظِيمٍ خُلُقٍ لَعَلى وَإِنَّكَ
“Dan sesungguhnya engkau (ya Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
Demikian juga dari Hadits Nabi SAW:
“Aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan budi pekerti”. (HR. Akhmad)
            Menurut Ibnu Miskawaih akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan fikiran terlebih dahulu. Sejalan dengan itu, Al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan fikiran.
            Dua definisi di atas menggambarkan bahwa akhlak secara substansial adalah sifat hati (kondisi hati) –bisa baik bisa buruk- yang tercermin dalam prilaku. Jika sifat hatinya baik maka yang muncul adalah akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah) dan jika akhlak yang buruk (al-aklaq al-mazmumah).
            Adapun Ulama Akhlak memberikan pengertian tentang akhlak sebagai: Ilmu yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha pekerjaan mereka.
2.2. Karakteristik Akhlak
            Allah telah berkehendak bahwa akhlak (moral) dalam Islam memiliki karakteristik yang berbeda dan unik (istimewa) dari agama Yahudi, Nasrani ataupun keduanya, yaitu dengan karakteristik yang menjadikannya sesuai untuk setiap individu, kelas sosial, ras, lingkungan, masa dan segala kondisi. Yusuf Qardhawi, mengajukan tujuh karakter etika (moral/akhlak) Islam (Qardhawy, 1997):
1.      Moral yang beralasan (argumentatif) dan dapat dipahami.
Moral Islam terlepas dari tabiat ritual absolut dogmatis yang dikenal oleh agama Yahudi, dan yang diasumsikan oleh sebagian peneliti tentang moral sebagai suatu konsekuensi langsung sebagai suatu konsekuensi langsung bagi bahasa dakwah kepada moral dalam semua agama, namun mereka tidak mengetahui bahwa Islam justru kebalikan dari itu.
Sesungguhnya Islam selalu bersandar pada penilaian yang logis dan argumentasi yang dapat diterima oleh akal yang lurus dan naluri yang sehat, yaitu dengan menjelaskan maslahat (kebaikan) dibalik apa yang dilarangnya. Disebutkan dalam Al-Quran Surat Al-Ankabut: 45
وَأَقِم الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ ءِالْفَحْشَا وَالْمُنْكَرِ
“Dan dirikanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dan (perbuatan-perbuatan keji dan mukar)”.
2.      Moral Universal
Moral dalam Islam berdasarkan karakter manusiawi yang universal, yaitu larangan bagi suatu ras manusia berlaku juga bagi ras lain, bahkan umat Islam dan umat-umat yang lain adalah sama dihadapan moral Islam yang universal. Dalam Al-Quran surat Al-Maidah:8, Allah menyebutkan:
أَقْرَبُ هُوَ اعْدِلُوا تَعْدِلُوا أَلا عَلَى قَوْمٍ شَنَآنُ مَنَّكُمْجْرِيَوَلا
تَعْمَلُونَ بِمَا خَبِيرٌ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ وَاتَّقُوا لِلتَّقْوَى
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa”
Dengan demikian etika (moral/akhlak) Islam adalah bebas dari segala tendensi rasisme kebangsaan, kesukuan maupun golongan.
3.      Kesesuaian dengan Fitrah
Islam datang membawa apa yang sesuai dengan fitrah dan tabiat manusia serta menyempurnakannya. Islam mengakui ekstitensi manusia sebagaimana yang telah diciptakan Alla dengan segala dorongan kejiwaan, kecenderungan fitrah serta segala yang telah digariskan-Nya. Islam menjadikan mulai dari membuat batasan hukum untuknya agar dapat memelihara kebaikan masyarakat dan individu manusia itu sendiri.
Islam membolehkan manusia untuk menikmati barang atau hal-hal (rezeki) yang baik, perhiasan dan mengesahkan kepemilikan pribadi. Namun syariat Islam tidak membenarkan naluri jika barang-barang dan hal-hal yang najis atau merupakan perbuatan maksiat. Firman Allah dalam Surat Al-A’raf: 32
الرِّزْقِ مِنَ وَالطَّيِّبَاتِ لِعِبَادِهِ أَخْرَجَ الَّتِي اللَّهِ زِينَةَ حَرَّمَ مَنْ قُلْ
“Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?".
            Islam dengan segala yang diperbolehkannya demi menjaga tabiat manusiawi telah meletakkan konsep aturan dan batasan-batasan yang netral atau moderat, sikap-sikap berlebihan dan ekstrim yang menjurus kepada perangai binatang tercela.
4.      Memperlihatkan Realita
Di antara karakteristik moral Islam merupakan akhlak realistik, tidak mengeluarkan perintah dan larangannya kepada orang-orang yang hidup di “menara gading” atau orang-orang terbang melayang di awang-awang idealisme, melainkan memerintahkan kepada manusia yang memiliki dorongan dan nafsu, keinginan dan cita-cita, kepentingan dan kebutuhan juga memiliki kecenderungan dan hasrat biologi terhadap kesenangan duniawi sebagaimana mereka juga memiliki kerinduan jiwa kepada Allah yang mengangkat tinggi derajat manusia.
Al-Quran tidak membebankan kepada manusia suatu kewajiban untuk mencintai musuh-musuhnya, karen a hal ini merupakan sesuatu hal yang tidak dimiliki jiwa manusia, akan tetapi Al-Quran memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk berlaku adil terhadap musuh-musuhnya, supaya rasa permusuhan dan kebencian mereka terhadap musuh-musuhnya tidak mendorong untuk melakukan pelanggaran terhadap musuh-musuh mereka.
5.      Moral Positif
Islam tidak merlakan orang yang telah berhias dengan moral Islam untuk mengikuti trend sosial, berjalan mengikuti arus, atau bersikap lemah dan menyerah menghadapi peristiwa yang mengendalikan hidupnya. Moral Islam menganjurkan untuk menggalang kekuatan, perjuangan dan meneruskan amal usaha dengan penuh keyakinan dan cita-cita, melawan sikap ketidakberdayaan dan pesimis (keputusasaannya), malas serta segala bentuk penyebab kemalasan. Firmah Allah:
“Ambillah kitab itu dengan sungguh-sungguh (penuh kekuatan)”.
Islam menolak sikap pasif (apatis) dalam menghadapi kerusakan sosial dan politik, dekadensi moral dan agama, bahkan Islam memerintahkan kepada muslim untuk merubah suatu kemungkaran dengan “tangannya”, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka dengan hatinya.
6.      Komprehensifitas
Jika sebagian orang menyangka bahwa moral dalam agama berkisar pada pelaksanaan ibadah-ibadah ritual, seremonial dan sebagainya, maka hal ini tidak tepat untuk diprediksikan kepada etika/moral dalam Islam, karena etika Islam tidak membiarkan kegiatan manusia hanya dalam ibadah saja. Islam telah menggambarkan sebuah konsep moral dengan ibadah yang tertentu, bahkan menggariskan hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan hunbungannya dengan umatnya, maka moral Islam mencakup hubungan manusia dengan alam secara global maupun detail dan untuk itu moral Islam meletakkan apa yang dikehendaki manusia dari adab yang tinggi dan ajaran yang luhur.
7.      Tawazun (Keseimbangan)
Di antara karakteristik moral Islam adalah tawazun yang menggabungkan sesuatu dengan penuh keserasian dan keharmonisan, tanpa sikap berlebihan maupun pengurangan. Contoh tawazun adalah: sikap seimbang antara hak tubuh dan hak roh, sehingga tidak ada penyengsaraan tubuh ataupun penelataran roh. Contoh lain adalah sikap seimbang dalam “mengejar” dunia dan akhirat. Islam menganggap dunia ini adalah ladang untuk akhirat dan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, maka tidaklah pantas mereka merusak atau menelantarkan kehidupan di dunia, karen orang yang bahagia adalah orang yang beruntung dengan kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah: 201 :
حَسَنَةً الآخِرَةِ وَفِي حَسَنَةً الدُّنْيَا فِي آتِنَا رَبَّنَا يَقُولُ مَنْ وَمِنْهُمْ
النَّارِ عَذَابَ وَقِنَا
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".
2.3. Faktor-faktor Pembentukan Akhlak
            Sebelum kita bahas tentang berbagai kelakuan yang baik dan kelakuan yang tercela, maka perlu kita ketahui berbagai faktor penting dalam akhlak, yang memainkan peranan dalam penentuan baik buruknya tingkah laku seseorang. Faktor-faktor tersebut turut “mencetak” dan mempengaruhi terbentuknya tingkah laku manusia dalam pergaulannya.
            Manusia selaku makhluk yang istimewa dengan kelainan-kelainnanya dibandingkan dengan mahluk-mahluk lainnya memiliki kelebihan-kelebihan dan juga kekurangan-kekurangannya tertentu. Bukan hanya berbeda dengan mahluk lainnya, tetapi juga antara manusia itu sendiri mempunyai perbedaan, baik fisik maupun mental. Yang membedakan manusia dengan lain makhluk terutama terletak pada akal budinya, dapat tertawa, mempunyai bahasa, dan kebudayaan, memiliki kekuasaaan untuk menundukkan binatang, bertanggung jawab dan berilmu pengetahuan.
 وَرَزَقْنَاهُمْ وَالْبَحْرِ الْبَرِّ فِي وَحَمَلْنَاهُمْ آدَمَ بَنِي كَرَّمْنَا وَلَقَدْ
تَفْضِيلا خَلَقْنَا مِمَّنْ كَثِيرٍ عَلَى وَفَضَّلْنَاهُمْ الطَّيِّبَاتِ مِنَ
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (Al-Isra: 70)
            Demikian juga antara yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan dalam kesanggupan fisik dan mental, perbedaan bakat, rizqi, ilmu pengetahuan, kedudukan (derajat) dan sebagainya. Hal ini dikemukakan dalam Al-Quran:
فَوْقَ بَعْضَكُمْ وَرَفَعَ الأرْضِ خَلائِفَ جَعَلَكُمْ الَّذِي وَهُوَ
سَرِيعُ رَبَّكَ إِنَّ آتَاكُمْ مَا فِي لِيَبْلُوَكُمْ دَرَجَاتٍ بَعْضٍ
رَحِيمٌ لَغَفُورٌ وَإِنَّهُ الْعِقَابِ
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-An’am: 165)
Identitas kemanusian ini perlu diselidiki dalam pelajaran akhlak, karena manusi selaku pelaku akhlak tu sendiri dan faktor-faktor kemanusiaannya itu menentukan kesanggupannya bekerja “mencetak amal kebaikan” itu sendiri “dicetak” oleh berbagai faktor kondisi dan situasinya. Jelas firman Allah dalam Al-Quran:
سَبِيلا أَهْدَى  هُوَ بِمَنْ أَعْلَمُ فَرَبُّكُمْ شَاكِلَتِهِ عَلَى يَعْمَلُ كُلٌّ قُلْ
“Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (Al-Isra: 84)
            Sebagai contoh, orang yang kuat mental dan tajam pikirannya dapat bekerja lebih banyak, sedangkan manusia tumpul otaknya, lemah mental dan fisiknya kesanggupan berbuatnya menjadi berkurang.
            Berlaku dermawan adalah suatu kebaikan, tetapi kesanggupan itu hanya dimungkinkan oleh orang yang memiliki harta yang memadai (hartawan). Menjadi petugas keamanan untuk melindungu masyarakat adalah perbuatan yang baik, tetapi tugas itu tidak dapat dilaksanakan oleh orang yang memiliki fisik yang lemah. Untuk menjadi polisi dan tentara diperlukan kekuatan fisik dan mental (keberanian).
            Demikian latar belakang kesanggupan manusia yang berbeda-beda, sehingga tidak dapat dipaksakan suatu kebaikan begitu saja kepada seluruh manusia tanpa memperhatikan kesanggupannya itu. Maka amat bijaksana Allah yang mewajibkan setiap Muslim melaksanakan ibadah haji, tetapi kewajiban itu hanya dipundakkan kepada orang yang mampu (istitha’ah). Bijaksanalah Allah ketentuan yang digariskan dalam Al-Quran:
وُسْعَهَا إِلا لَهَا نَفْسًا اللَّهُ يُكَلِّفُ لا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
            Perbuatan dan kelakuan yang berbeda-beda itu, pada prinsipnya ditentukan dan dipengaruhi oleh dua faktor utama:
a.       Faktor dari dalam (internal): yakni sifat-sifat bawaan atau yang dibawa sejak lahir.
b.      Faktor dari luar (eksternal): pengaruh yang terjadi di luar diri manusia karena adanya suatu aksi dan interasksi.

1.      Instink (Naluri)
2.      Keturunan
3.      Azam
4.      Suara Batin (Dlamin)
5.      Kebiasaan
6.      Lingkungan

2.4. Aktualisasi Akhlak dalam berbagai Kehidupan Bidang Kehidupan
           
            Perbaikan akhlak merupakan bagian dan tujuan pendidikan Islam. Pendidikan yang hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual telah agal membawa manusia sebagai khalifah fi al-ardl. Sejak awal seorang Socrated telah mengingatkan bahwa tujuan pendidikan ialah kebaikan sifat dan budi, yaitu kasih sayang dan kerelaan. Tujuan nyata dari pendidikan ialah menyalurkan warisan sosial dan suku bangsa sejenis. Lebih jauh Al-Ghazali menyatakan bahwa penyesuaian diri tidak sekedar dijalankan terhadap norma masyrakat, tetapi juga terhadap norma Tuhan. Al-Ghazali selanjutnya mengutarakan bahwa tujuan pendidikan secara individual ialah membersihkan kalbu dari godaan hawa nafsu (syahwat) dan amarah (ghadhab), hingga ia jernih bagaikan cermin yang dapat menerima cahaya Tuhan. Mendidik itu sama dengan pekerjaan peladang membuang duri dan mencabu rumput yang tumbuh di antara tanam-tanaman, agar segar dan subur tumbuhnya.
            Di dalam hati yang bersih, iman tumbuh dan berkembang. Ia menebarkan cahaya ke seluruh anggota badan lahir batin. Kalau indikator manusia berakhlak adalah manusia yang tertanam di dalam hatinya iman yang kokoh, maka tasawuf adalah upaya bagaimana kiat-kiat agar iman itu “istiqamah” dan tetap kokoh. Tasawuf adalah upaya spiritual bagaimana agar manusia dapat memilki akhlak al-karimah. Caranya yaitu dengan cara tasfiat al-qalb. Metode tasfiat al-qalb yang disepakati oleh para sufi adalah saleh. Jika sebuah amal saleh lepas dari dzikir maka laksana jasad tanpa ruh. Mengapa dzikir menjadi pola tasfiat al-qalb yang dimajukan mereka secara naqli.
1.      Perintah dzikir dalam Al-Quran datang ada secara mutlak dalam arti tidak diikat dengan pernyataan-pernyataan yang lain dan ada yang perintahnya dikaitkan dengan ikatan-ikatan lain.
2.      Larangan berlaku sebaliknya yaitu lupa dan lalai dari dzikir
3.      Kebahagiaan yang akan diperoleh manusia dikaitkan dengan banyak dan istiqomah dalam berdzikir.
4.      Pujian Allah dialamatkan kepada ahli dzikir dan Allah menjanjikan bagi mereka ampunan dan surga.
5.      Informasi Allah bahwa kerugian bagi orang yang bersikap sebaliknya yakni tidak berdzikir.
6.      Allah menjadikan dzikir hamba kepada-Nya sebagai syarat dzikirnya Allah kepada mereka.
7.      Pernyataan Allah secara jelas bahwa dzikir adalah perkara yang amat besar. Dzikir adalah ketaatan yang paling utama dan yang dimaksud ketaatan adalah taat secara total yakni melakukan dzikir yang merupakan rahasia dan ruh ketaatan.
Selain langkah spiritual langkah lahiriah juga harus diupayakan. Menurut ilmu akhlak kebiasaan yang baik harus disempurnakaan dan kebiasaan yang buruk harus dihilangkan. Kebiasaan merupakan faktor yang amat penting dalam pembentukan karakter manusia berakhlak baik. Kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga orang menjadi mudah mengerjakannya. Oleh karena itu hendaknya manusia memaksakan diri (mujahadah) untuk mengulang-ulang perbuatan yang baik sehingga menjadi kebiasaan dan akhirnya terbentuklah akhlak yang baik pada dirinya. Sejak awal Nabi menganjurkan agr anak dibiasakan melakukan kewajiban-kewajiban. Nabi bersabda:
“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat sewaktu merek berumur tujuh tahun, dan ambilah tindakan tegas pada waktu mereka berumur sepuluh tahun” (H.R. Tirmizi)
Seseorang akan mudah menggerjakan suatu perbuatan yang telah menjadi kebiasaannya, meskipun pada awalnya perbuatan dirasakan berat. Islam menghendaki agar pemeluknya melatih diri melakukan kewajibannya secara ‘istiqamah’, khususnya shalat yang lima waktu, puasa pada bulan ramadhan, zakat, haji dan lain-lain pada waktunya, sehingga sehingga semua itu menjadi kebiasaan yang mencetak orang bersangkutan berkarakter taat atas perintah Allah. Demikian pula kebiasaan berbuat baik terhadap sesama manusia (ibadah sosial) dan alam lingkungan dalam arti luas.
Dalam akhlak, “keutamaan” tidaklah cukup dengan hanya mengetahui apakah “keutamaan itu”, tetapi harus ditambah dengan melatihnya dan terus menerus mengerjakannya atau mencari jalan lain untuk menjadi orang-orang yang memiliki keutamaan dan kebaikan (ahl al-fadl wa al-khair). Secara singkat Al-Ghazali menyebutkan bahwa untuk mencapain akhlak yang baik, ada tiga cara, pertama, akhlak yang merupakan anugerah dan kasih sayang Allah orang memiliki akhlak baik secara alamiah (bi al-thabi’ah wa al-fitrah), sebagai sesuatu yang diberikan Allah kepadanya sejak ia dilahirkan. Kedua dengan “mujahadah” (menahan diri) dan ketiga dengan “riyadhah” yang disepakati para sufi, sebagai telah dijelaskan antara lain ialah dengan “dawam al-zikr”.
Upaya mengubah kebiasaan yang buruk, menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip Ishak Soleh adalah dengan hal-hal sebagai berikut:
1.      Menyadari perbuatan buruk, bertekad untuk meninggalkannya;
2.      Mencari waktu yang baik untuk mengubah kebiasaan itu untuk mewujudkan niat atau tekad semula;
3.      Menghindarkan diri dari segala yang dapat menyebabkan kebiasaan buruk itu terulang;
4.      Berusaha untuk tetap berada dalam keadaan yang baik;
5.      Menghindarkan diri dari kebiasaan yang buruk dan meninggalkannya dengan sekaligus;
6.      Menjaga dan memelihara baik-baik kekuatan penolak dalam jiwa, yaitu kekuatan penolak terhadap perbuatan yang buruk. Perbuatan baik dipelihara dengan istiqamah, ikhlas dan jiwa tenang;
7.      Memilih teman bergaul yang baik, sebab pengaruh kawan itu besar sekali terhadap pembentukan watak pribadi.
8.      Menyibukkan diri dengan pekerjaan yang bermanfaat.
Menurut Al-Ghazali, upaya mengubah akhlak yang buruk adalah dengan kesadaran seseorang akan akhlaknya yang jelek pada dirinya. Ada empat cara untuk dapat membantu setiap orang dalam membantu setiap orang dalam masalah ini. Pertama dengan menjadi murid seorang pembimbing spiritual (syaikh). Lengkah kedua, dengan minta bantuan seorang teman yang tulus, taat dan punya pengertian. Temaan ini diminta mengamati keadaan dan kondisi orang tersebut dengan teliti dan mengatakan kepadanya tentang kekurangan-kekurangan yang nyata dan tersembunyi pada dirinya. Langkah ketiga,, mengetahui kekurangan kita dari seorang yang tidak menyenangi kita. Orang yang tidak senang kepada kita lebih banyak melihat kekurangan yang ada pada diri kita ketimbang kebaikan. Langkah keempat, ialah dengan bergaul bersama orang banyak dan memisalkan kekurangan yang dilihat pada orang lain bagaikan ada pada diri kita. Selanjutnya ia menyatakan bahwa keburukan jiwa dapat dipulihkan secara permanen jika substansinya dihancurkan. Ini hanya dapat dilaksanakan dengan menghilangkan penyebab keburukan itu. Oleh sebabt itu ia sering mengatakan bahwa penyembuhan penyakit hati tergantung pada penghalang dari faktor penyebabnya. Carilah faktor penyebabnya kemudian sembuhkan dengan obat rohani yang tepat dan cocok. Selanjutnya ia mengatakan bahwa keburukan jiwa adalah penyakit dan pembersihan jiwa dari penyakit memakai suatu obat. Bagi tiap penyakit jiwa ada obat yang sebanding dengan kecil besarnya penyakit itu. Pakailah obat untuk penyekit itu jika ia menimpa kamu, dengan memberikan penawar penyakit atau memotong pangkalnya.
Akhlak al-karimah adalah buah yang harus didapatkan. Tasawuf adalah upaya spiritual bagaimana manusia dapat memperoleh buah itu. Riyadhah adalah salah satu cara yang di mata para sufi paling efektif untuk mendapatkan buah itu (akhlak al-karimah). Dzikir disepakati oleh para sufi merupakan riyadhah yang paling besar pengaruhnya terhadap pensucian hati. Tetapi karena tsawuf itu adalah upaya peningkatan kualitas maka pelaksanaanya tentu saja terintegrasi dengan akidah dan syari’ah atau dengan istilah lain fikih. Mengamalkan tasawuf tanpa fikih adalah “kezindikan” juga sebaliknya berfikih tanpa tasawuf adalah kehampaan spiritual yang didapatkan, memadukan antara fikih dan tasawuf adalah pencapaian hakikat kebenaran.
Tasawuf perlu dibedah secara naqli dan aqli, agar mahasiswa tahu bagaimana seharusnya ber-Islam secara kaffah, secara ilmu dan amal. Islam kaffah adalah secara ilmu Islam dipahami lahir batinnya, dan secara amal diaktualisasikan lahir dan batinnya. Kata Ibnu ‘Arabi ilmu adalah imam bagi amal. Maka pengetahuan yang benar dan agak mendalam tentang tasawuf akan melahirkan mahasiswa yang memahami Islam dan berusah secara sungguh-sungguh mengamalkannya dalam kehidupan ritual dan sosialnya. Yang menjadi persoalan bagaimana implementasi akhlak dan tasawuf dalam pembelajarannya. Secara singkat dapat dikemukakan di sini; pertama dengan penjelasan yang komprehensif tentang kedudukan tasawuf dalam Islam.
Terlalu lama Islam yang kita ajarkan kepada anak didik adalah Islam Fikih. Islam Fikih cenderung menggiring mahasiswa bersikap formalistik dalam pengamalan agama. Islma fikih kering dari makna dan nilai ajaran. Padahal Nabi secara jelas menyatakan kalu Al-Quran harus difahami zhahir dan batinnya. Zahir ayat melahirkan fikih, batin ayat melahirkan ajaran tasawuf. Tasawuf adalah bagian integral dari ajaran Islam, memisahkan tasawuf ajaran Islam sama artinya dengan menghilangkan substansi ajaran Islam itu sendiri. Ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana telah dijelaskan bukan hanya mengangkat ayat tentang tasawuf malah ayat yang berbicara hukum sekalipun selalu dikaitkan dengan substansi ajaran tasawuf. Kedua dengan memberikan contoh dan teladan. Memberikan contoh dalam pengamalan fikih dan tasawuf sekaligus memberikan teladan bagaimana sikap berakhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dosen PAI harus menjadi teladan dan dapat dibanggakan oleh mahasiswanya dalam segala aspek kehidupannya. Jangan mahasiswa kehilangan panutan di kampus atau menjadikan nilai-nilai yang tidak berasaskan Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai pedoman dalam hidupnya. Yang lain-lainnya dapat dilakukan oleh dosen PAI semisal, pembiasaan tentunya pembiasaan perilaku-perilaku yang baik, menegakkan disiplin, memberi motivasi atau dorongan, memberikan hadiah terutama yang bersifat psikologis, menghukum, kalau perlu, dalam rangka pendisiplinan dan yang harus diupayakan oleh institusi dan lingkungan adalah penciptaan suasana yang berpengaruh bagi pertumbuhan positif berakhlak karimah.
Secara substansial akhlak, etika dan moral adalah sama yaitu ajaran tentang baik dan buruk berkaitan dengan sikap hidup manusia. Yang membedakan satu dengan yang lainnya adalah sumber kebenarannya. Akhlak bersumberkan Al-Quran dan al-Sunnah, sementara etika bersumberkan akal karena ia bagian dari filsafat. Sedangkan moral bersumberkan adat istiadat (tradisi) yang berlaki di masyarakat. Etika lebih bersifat teoritis, moral bersikap praktis, etika bersifat umum, sedangkan moral lebih bersifat lokal dan khusus. Akhlak bersifat universal dan komprehensif, mencakup aspek lahir dan batin.
Dari satu segi akhlak adalah buah dari tasawuf (proses pendekatan diri kepada Tuhan), tapi dari sisi lain akhlak pun merupakan usaha manusia secara “zahiriyah”, yaitu melalui ilmu dan amal, “mujahadah” dan “riyadhah”. Implementasi akhlak dan tasawuf, bahwa secara keilmuantasawuf harus dibedah sehingga jelas substansi kajiannya dan sekaligus posisinya dalam ajaran amat menentukan, memberi motivasi memberikan hadiah atau sebaliknya menghukum secara psikologis dan yang tidak kalah penting  adalah upaya penciptaan suasana kondusif oleh semua pihak untuk tumbuhnya sikap akhlak yang positif di kampus masing-masing.




















BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Islam mempunyai dua sumber yaitu Al-Quran dan As-Sunnah yang menjadi pegangan dalam menentukan segala urusan dunia dan akhirat. Kedua-dua sumber itulah juga yang menjadi sumber akhlak Islamiyyah. Prinsip-prinsip dan kaedah ilmu akhlak Islam semuanya didasarkan kepada wahyu yang bersifat mutlak dan tepat neraca timbangannya.
Apabila melihat perbahasan bidang akhlak Islamiyyah sebagai satu ilmu berdasarkan kepada dua sumber yang mutlak ini, dapatlah dirumuskan definisinya seperti berikut:
Satu ilmu yang membahaskan tatanilai, hukum-hukum dan prinsip-prinsip tertentu bagi mengenalpasti sifat-sifat keutamaan untuk dihayati dan diamalkan dan mengenalpasti sifat-sifat tercela untuk dijauhi dengan tujuan membersihkan jiwa berasaskan wahyu Ilahi bagi mencapai keredhaan Allah (ridwaanullah).
Manakala akhlak pula dapatlah kita rumuskan sebagai satu sifat atau sikap keperibadian yang melahirkan tingkah laku perbuatan manusia dalam usaha membentuk kehidupan yang sempurna berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Allah.
Dengan kata lain, akhlak ialah suatu sistem yang menilai perbuatan zahir dan batin manusia baik secara individu, kumpulan dan masyarakat dalam interaksi hidup antara manusia dengan baik secara individu, kumpulan dan masyarakat dalam interaksi hidup antara manusia dengan Allah, manusia sesama manusia, manusia dengan haiwan, dengan malaikat, dengan jin dan juga dengan alam sekitar.

No comments:

Post a Comment